Apakah LGBT Kelompok Minoritas?

Suatu hari, Romo Agus Sunyoto menceritakan sebuah kisah yang sangat saya suka, tentang pemuda dan meteor. Ada sebuah meteor yang meluncur akan menabrak bumi. Meteor itu akan membuat seluruh kota menjadi gila. Dua orang pemuda lalu minum air dari sebuah telaga untuk menangkal efek gila dari meteor itu. Meteor itu kemudian benar-benar menabrak bumi, dan benar-benar membuat seluruh penduduk menjadi gila, kecuali dua pemuda itu. Namun sayang, karena hanya dua pemuda itu yang berbeda, maka merekalah yang disebut gila.

Ada nilai konyol yang saya tangkap dari kisah itu, yaitu keseragaman sosial. Bahwa setiap anggota dari masyarakat haruslah seperti masyarakat lainnya, harus seragam. Memang, kita dan masyarakat kita suka sekali bersepakat untuk menjadi seragam dan tidak berbeda satu sama lain. Bahkan kita sudah punya peribahasa untuk itu, mengembik di kandang kambing, mengaum di kandang harimau.

Lambat dan pasti, akhirnya keseragaman menjadi keharusan dan wajib diperjuangkan. Negara mulai ikut-ikutan dengan membuat batasan-batasan jelas dalam bermasyarakat. Aturan-aturan mulai muncul, membatasi suku bangsa harus sesuai daftar resmi, agama harus sesuai daftar resmi, dan jenis kelamin juga harus sesuai daftar resmi. Semua harus lengkap dan terdata di catatan sipil, dan terekam dalam selembar kartu tanda penduduk.

Apakah dengan seragam lalu kita hidup nyaman?

Sejarah mengatakan tidak. Diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa terjadi setelah Pemerintah Orde Baru tidak memasukkan mereka dalam daftar suku bangsa resmi Indonesia. Penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah semakin gencar setelah pemerintah menyatakan mereka sesat, bahkan hasil penelitian Mahathir Iqbal (2015) menemukan bahwa mereka diintimidasi untuk memilih satu dari daftar agama resmi di Indonesia agar selamat. Lalu bagaimana dengan LGBT?

Tidak perlu ikut diskusi macam-macam, saya percaya bahwa kondisi masyarakat kita yang masih menjunjung keseragaman akan sangat sulit menerima kenyataan bahwa ada yang terlahir berbeda dari sekadar laki-laki atau perempuan. Tidak perlu membaca teori aneh-aneh, saya sangat yakin masyarakat kita akan memberi saran (atau paksaan) kepada kaum LGBT untuk memilih dari dua pilihan yaitu laki-laki atau perempuan. Kenapa?

Karena negara mengakui keduanya secara resmi.

Dengan mengakui mereka berbeda dengan masyarakat, kaum LGBT akhirnya menjadi kaum minoritas. Minoritas diantara kaum yang sudah jelas pilihannya, laki-laki atau perempuan. Bagaimana jika dibalik?

Kisah Luth atau Lot sudah memberi kita banyak pelajaran. Dalam kisahnya, baik di Al-Qur’an maupun Old Testament, Luth yang seorang diri straight berusaha mati-matian melindungi tamunya, dua lelaki gagah, dari kejaran masyarakat Sodom yang homoseks. Apa yang dilakukan oleh Luth untuk melindungi kedua tamunya?

Menawarkan kedua putrinya!!! Luth tentu sangat terintimidasi oleh kelompok mayoritas, hingga menawarkan kedua putrinya kepada segerombolan lelaki penuh nafsu. Mungkin kita bisa bertanya, orang tua macam apa itu?

Saya melihat panasnya isu-isu LGBT ini tidak lebih dari pertentangan minoritas dan mayoritas. Kita terlalu lama melihat agama, kelamin dan suku bangsa sebagai sebuah bendera, daripada sebagai sebuah hak. Kita terlalu lama patuh hingga menuhankan daftar-daftar resmi yang dibuat negara, sehingga menganggap yang tidak (atau belum) diresmikan sebagai sebuah kesalahan yang perlu dibetulkan.

Beruntung, kita belum terlalu parah dalam mengintimidasi. Setidaknya belum saya temukan kaum LGBT sebagai minoritas menawarkan pacar-pacarnya kepada kita.

Previous
Next Post »
Posting Komentar
Thanks for your comment