Teka-teki Politik itu Terjawab Sudah
Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
SETELAH penantian berbulan-bulan mengenai siapa calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DKI Jakarta yang didukung PDIP, teka-teki itu terjawab. Selasa (20/9) pukul 20.33 WIB, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengumumkan nama Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat sebagai Cagub dan Cawagub DKI Jakarta. Pasangan itu diumumkan bersamaan dengan beberapa nama calon yang akan diusung PDIP di 101 daerah yang akan melaksanakan pilkada pada 15 Februari 2017.
Ada empat alasan mengapa PDIP akhirnya mendukung Ahok-Djarot. Pertama, Ahok ialah petahana yang melanjutkan pemerintahan Jokowi-Ahok di DKI Jakarta. Kedua, Jokowi-Ahok ialah pasangan Cagub dan Cawagub DKI Jakarta pada 2012 yang didukung PDIP dan Gerindra. Ketiga, mereka selama ini ialah pasangan serasi yang sudah membangun Jakarta sesuai dengan asas-asas yang dipegang PDIP, yakni perhatian kepada wong cilik. Keempat, pasangan itu menjalankan pemerintahan sesuai dengan Pancasila yang dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Pasangan itu harus tetap menjaga ibu kota negara sebagai kota bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang asal usul suku, agama, ras, dan status sosial ekonomi penduduknya.
Bila kita cermati dinamika politik di internal PDIP, awalnya ada dua faksi besar yang mendukung dan yang tak suka Ahok. Bagi yang mendukung, Ahok ialah pasangan petahana yang berhasil memenuhi janji-janji kampanye Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Janji itu antara lain berisi reformasi birokrasi, perbaikan aliran sungai untuk mencegah banjir, relokasi penduduk di sekitar sungai/kali ke tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman, kartu Jakarta sehat, kartu Jakarta pintar, penataan Kota Jakarta, pembangunan infrastruktur kota termasuk transportasi, pembangunan MRT, LRT, serta penambahan bus dan trayek Trans-Jakarta.
Mendukung Ahok-Djarot bukan saja melanjutkan pembangunan yang sudah dilaksanakan sejak 2012 dan menjaga kemajemukan masyarakat Jakarta, melainkan juga dapat mengonsolidasikan pemerintahan Presiden Jokowi di DKI Jakarta. Keuntungan politik yang akan diterima PDIP dengan mengusung Ahok-Djarot ialah semakin tinggi legitimasi kepala daerah yang didukung PDIP akan meningkatkan pamor politik PDIP pula di DKI Jakarta. Ini memberikan pengaruh politik yang positif bagi PDIP pada pemilu serentak 2019 di DKI. PDIP akan mendulang suara terbanyak kembali pada pemilu legislatif di Jakarta dan capres PDIP akan terbuka kemungkinan untuk mendapatkan kemenangan di Jakarta pula.
Bagi yang tak mendukung Ahok, ada beberapa alasan. Pertama, mendukung Ahok tak memberikan keuntungan ekonomi pada PDIP. Kedua, Ahok terlalu sombong dan tidak sopan kepada PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Ketiga, Ahok bukan kader PDIP.
Terlepas dari adanya perbedaan ini, suatu kenyataan bahwa Megawati memberikan kesempatan kepada Ahok untuk memperbaiki hubungan. Langkah itu berawal dari pertemuan Megawati-Ahok-Presiden Jokowi di dalam satu mobil yang membawa mereka ke acara Rakernas Partai Golkar. Pertemuan kedua antara Megawati dan Ahok terjadi pada 17 Agustus 2016. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, Mega juga mendorong Ahok agar memperbaiki hubungan dengan jajaran arus bawah PDIP yang menentangnya. Tiket kepada Ahok baru secara resmi diberikan PDIP 20 September 2016, sehari sebelum hari pendaftaran pasangan Ahok-Djarot ke KPU Daerah DKI Jakarta.
Siapa penantang?
Siapa pun yang akan menjadi penantang Ahok-Djarot, harus memiliki keunggulan komparatif terhadap pasangan ini. Para penantang tersebut harus memiliki jiwa petarung yang tak kenal kalah. Mereka juga jangan hanya mampu berwacana tanpa memberikan alternatif kebijakan yang konkret dengan didukung data akurat. Mereka pun harus mampu melontarkan kata-kata yang tidak klise atau janji-janji politik yang belum tentu bisa dilaksanakan. Pendekatan sektarianisme atau penonjolan unsur SARA belum tentu mampu menyihir pikiran warga Jakarta, bahkan bisa menjadi bumerang bagi mereka yang menggunakannya.
Hingga kini baru nama Sandiaga Uno dan Mardani Ali Sera saja yang dipasangkan Partai Gerindra dan PKS untuk menantang Ahok-Djarot di Pilkada Jakarta 2017. Masih ada empat parpol yang belum memberikan keputusan politik, yaitu Partai Demokrat, PKB, PPP, dan PAN. Ada upaya dari Yusril Ihza Mahendra untuk berpasangan dengan Sekda DKI Jakarta Saifullah dan mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat, PAN, dan PKB. Ada pula upaya dari Rizal Ramli agar didukung partai yang belum menentukan posisi politik tersebut.
Belakangan muncul nama baru, yakni Anies Baswedan, yang awalnya diajukan sebuah lembaga survei agar dipasangkan dengan Tri Rismaharini. Belakangan ada lembaga survei lainnya yang ingin memasangkan Sandiaga Uno dengan Anies. Analisisnya, mereka sangat ideal untuk mengimbangi bahkan mengalahkan Ahok karena keduanya santun, ganteng, dan cerdas.
Persoalannya; pertama, siapa yang akan menjadi nomor satu? Gerindra tentunya tak ingin Sandiaga menjadi orang kedua. Anies tentu tak mau jadi orang nomor dua karena pernah menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Lalu, apakah PKS juga rela menarik Mardani yang sudah diumumkan sebagai cawagub bersama Sandiaga?
Cegah kampanye SARA
Jika pasangan Sandiaga-Anies menjadi penantang Ahok-Djarot, pertarungan untuk merebut Jakarta akan ramai. Anies amat pandai memilih dan merangkai kata-kata dalam berbicara di depan publik. Sandiaga juga amat santun dan ganteng. Kelemahan mereka ialah belum memiliki pengalaman berpolitik yang panjang dan belum pernah juga memiliki pengalaman di birokrasi pemerintahan daerah. Birokrasi Jakarta tidak bisa dilakukan dengan kesantunan dan kata-kata indah, tapi butuh sikap yang tegas dan keras, tanpa harus menjadi otoriter.
Berkampanye dengan isu-isu SARA tidak laku di Jakarta pada Pilkada 2012. Lebih dari 60%, tidak memilih gubernur dan wakil gubernur atas dasar agama atau etnik, tetapi atas dasar bagaimana komitmen mereka, rekam jejak, kapasitas kepemimpinan, sikap antikorupsi, dan kemauan untuk mau turun ke daerah-daerah banjir atau kumuh untuk memahami kesulitan yang dihadapi rakyat.
Rakyat Jakarta tidak suka gubernur/wagub yang hanya pandai bicara tetapi tidak cakap bekerja. Mereka sudah sangat melek politik dan tak peduli masalah SARA. Ketika para penantang Ahok masih berwacana, Ahok sudah melaksanakan berbagai program. Inilah tantangan bagi para penantang pasangan petahana itu. []
Sumber: MEDIA INDONESIA, 21 September 2016
Ikrar Nusa Bhakti | Profesor Riset LIPI